....Pukulan suaminya ( lanjutan dari Part 1 )
Tidak ada seorangpun yang menjenguk Mbak Ginuk. Sakit yang dialami karena kekerasan rumah tangga mungkin tak enak jika harus dijenguk. Barangkali suaminya akan lebih naik darah karena perhatian yang diterima oleh istrinya dianggap penyalahan atas perbuatan suaminya. Akhirnya agar tak menjadi elbih runyam, ibuku, juga ibu ibu yang lain, bersepakat tak akan datang ke rumahnya.
Saat Mbak Ginuk kembali bekerja dan berhenti tepat di depan ibu ibu yang sedang berkumpul. dan aku berada di dekat mereka, aku tercekat ketika melihatnya.
Kupejamkan mata sesaat. Tak tahan melihat bola mata kiri Mbak ginuk yang seperti agak mencuat keluar, dengan warna putihnya yang kemerahan. Ditambah lagi dengan wajahnya yang terlihat lebih miring dan mulutnya yang kosong karena dua gigi depannya menghilang.
Tadinya kukira dengan mata kanan yang selalu terpicing saja sudah parah, tetapi ini lebih lagi. Wajahnya benar benar menyedihkan.
Dengan penuh simpati, ibu ibu menanyakan kabarnya. Berharap mendengar cerita versi lengkap dengan keluhan dan sedu sedannya. Namun, semua harus mengigit jari karena Mbak Ginuk hanya tersenyum.
Dengan wajah seperti itu, MBak Ginuk berkata kepada ibu ibu kalau dia tak apa apa. " Alhamdullilah masih diberi kesehatan dan kekuatan," begitu dia bilang, " Tuhan benar benar Mahaadil," katanya.
Adil? Keadilan apa yang disadarinya dari wajah miring, gigi ompong, dan bola mata yang mencuat itu?
Dia merasa Tuhan itu adil karena di saat kejadian itu, anak lelakinya yang masih berumur delapan tahun maju kedepannya, melindunginya. Si anak pendiam itu berteriak kepada bapaknya untuk berhenti, dan suaminya berhenti memukulinya. Tuhan mahaadil. Kalau tidak ada nak lelakinya mungkin dia sudah mati terbunuh di tangan suaminya sendiri.
Dia merasa Tuhan itu adil karena meski telah mengalami hal sesulit itu dia masih bisa sembuh dan kembali bekerja untuk menghidupi anaknya. Dia ingin mengumpulkan uang agar anak lelakinya masuk pesantren, katanya.
Dia juga merasa Tuhan itu adil, karena setelah peristiwa itu, suaminya ditahan polisi berkat laporan dari tetangga-tetangga. " Biarlah itu menjadi pelajaran baginya."katanya.
"Lalu bagaimana kalau suami Mbak Ginuk nanti sudah keluar dari penjara? Kembali ke mana dia nanti?"tanya seorang ibu. " Ya tentu ke rumah saya," senyum Mbak ginuk," dia kan masih suami saya."
Wanita itu tak dendam, karena katanya, semua orang memiliki tanggung jawab sendiri di dunia. Siapa yang bisa menjalankan sebaik-baiknyam dialah yang terbaik di mata sang pencipta. tanggung jawabnya adalah menjadi ibu yang baik bagi anaknya dengan cara bekerja keras untuk menghidupinya, dan menjadi istri yang baik dengan cara bersabar.
Cukuplah baginya apa yang diterimanya dan yang harus dieprjuangkannya di dunia. Dia tidak akan mengeluh, tegasnya.
Kami menelan ludah dengan kecewa. Jelas kami tak akan mendapat tambahan gosip hangat dari sang korban kekerasan secara langsung. Akan tetapi sebenarnya tambahan cerita seberapapun tak akan mengenyangkan siapapun yang mendengarnya, hanya akan menambah beban bagi orang yang mendengarnya.
Bersama yang lain aku memilih ayam goreng yang akan kubeli dan membayarnya cepat-cepat. Mbak Ginuk mengumpulkan lembaran lembaran uang yang diterimanya dengan wajah riang. Tak ada yang lebih membahagiakannya selain dapat bekerja demi kehidupan yang lebih baik bagi anak satu-satunya.
Saat Mbak Ginuk berpamitan dan kembali meneruskan langkahnya menuntun sepeda, kutatap pungungnya lekat-lekat, Kukagumi wanita itu karena kesabaran dan kekuatannya.
Dalam setiap langkahnya, ada harapan untuk menjadikan diri dan keluarganya lebih baik daripada sekarang. Dalam setiap harapannya tersimpan doa yang dikirimkan melalui kesabaran dan keikhlasan, menerima dengan terbuka setiap keputusan Tuhan baginya.
Aku terus menatap langkahnya yang menjauh. Di depan sana ada sebuah tikungan dan dia akan berbelok. Sebelum membelokkan sepedanya, tiba tiba dia menoleh kembali kearah kami.
Mbak Ginuk tersenyum ketika melihatku masih menatapnya. Dia tersenyum dengan dua gigi depannya yang menghilang, wajah miringnya yang enatah kapan akan kembali seperti semula, dan sepasang mata yang begitu berlainan.
Seharusnya aku iba melihatnya. Namun, melihat langkah tegapnya, juga senyumannya menatap dunia, aku tahu aku tak dapat merasa iba. Justru dialah orang yang beruntung di dunia. Di dalam hatinya, Mbak Ginuk telah menciptakan surga.
gramediabook |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar